Antara “Sihir”, Cinta, dan Asa, Profil Penulis Hilda Tjahja
September 12, 2016
“Ketika kita mencintai seseorang, kita tidak perlu berubah menjadi orang lain” – Hilda Tjahja
Hilda Tjahja, atau yang akrab disapa “Hilda”, adalah seorang pecinta novel fantasi. Saat ini ia tengah sibuk merampungkan buku kedua dari trilogi Lovetime yang berjudul Dawn In The Present. Buku pertamanya, Dusk from The Past telah lebih dulu menyapa para pembaca dan menjadi salah satu buku terbitan terbaik dari Bitread. Buku keduanya ini ia tulis juga karena didorong oleh permintaan para pembaca trilogi Lovetime yang sudah tidak sabar untuk membaca kelanjutan kisah Dusk from The Past.
Hilda ternyata jago “sihir” juga lho, terutama dalam hal menyihir para tuna-asmara yang sedang patah hati agar cepat move-on. Ia bilang dirinya terinspirasi oleh penulis favoritnya, yakni J.K. Rowling, yang menurutnya mampu menyihir orang-orang sehingga menjadi pembaca setia kisah Harry Potter. Novel tentang para penyihir Hogwarts ini memotivasi Hilda agar dapat ikut “menyihir” para pembacanya untuk berimajinasi sehingga larut dalam kisah-kisah yang ia tulis. Bagi Hilda, imajinasi juga membawa sebuah pesan, bahwa kebahagiaan cinta bisa diraih oleh mereka yang rela memperjuangkannya.
Hilda yang lahir pada 8 November 1987 ini punya cara unik yang menjadi ciri khas-nya, terutama dalam hal mengatur keseharian agar dapat terus aktif menulis. Menulis membutuhkan manajemen diri yang baik. Maka, Hilda selalu menetapkan target dalam hal menulis. Target penulisan yang ia buat membantu dirinya agar dapat membagi waktu sambil terus berkarya. Menurutnya, target-target itu harus dijalankan sesuai rencana dengan konsisten dan penuh komitmen, walaupun hasil tulisannya mungkin tidak begitu bagus. Pada tahap berikutnya, barulah tulisan dapat dipoles dan disunting lagi agar sesuai dengan harapan kita. Cara itu pula yang dia lakukan untuk mendobrak mental block. Baginya, mental block bisa dibilang suatu penyakit yang dapat mematikan ide-ide seorang penulis.
Cara lainnya untuk mengatasi mental block ialah dengan berusaha meresapi cerita yang tengah kita tulis, imajinasikanlah bahwa diri kita masuk ke dalam cerita tersebut. Dengan cara ini, kita dapat menemukan inpirasi baru, terangnya. Hilda kerap memperoleh inspirasi dari kehidupan sehari-hari, pengalaman pribadi, atau pengalaman-pengalaman orang lain yang dirangkai menjadi sebuah tulisan.
Soal buku pertama dari triloginya ini yang berjudul Dusk from The Past, ia sempat mendapati sebuah pengalaman yang menarik ketika tengah mempersiapkan covernya. Saat itu, ia ingin menghiasi cover buku tersebut dengan karya dia sendiri. Walaupun sempat bingung, akhirnya Hilda, yang juga menggemari fotografi, tanpa sengaja teringat sebuah pemandangan sunset yang indah di sebuah pantai hasil jepretannya sendiri. Foto itu kemudian ia jadikan cover depan novel tersebut. Ternyata hasilnya sangat memuaskan. Menurutnya, visual dari cover itu sangat mewakili kisah yang diangkat dalam Dusk from The Past.
Hilda memaparkan bahwa ada salah satu bagian yang paling ia sukai, yaitu kisah Serigala dan Kelinci. Bagi mereka yang sudah membaca novel Dusk from The Past, bukan hanya kisah cinta Serigala dan Kelinci yang membuat baper para pembacanya saja yang berkesan, tapi nasihat yang berusaha disampaikan bahwa ketika kita mencintai seseorang, kita tidak perlu berubah menjadi orang lain, karena buku trilogi Lovetime ini memang didedikasikan untuk mereka agar kembali mencintai dan melanjutkan hidup dengan sebuah harapan.
Hilda sering mengadakan give-away juga lho di akun media sosialnya. Jadi, buat kamu para pecinta buku terutama novel, sering-sering mengunjungi akun medsosnya, ya. Untuk kenal lebih dekat dengan Hilda dan trilogi Lovetime-nya, dia bisa dijangkau lewat facebook: @thelovetimetrilogy atau Fanpage The Lovetime Trilogy.[Amy]