Ia lahir pada 8 Oktober 1884 di Agam, Sumatera Barat. Kala itu, Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Terlahir dengan nama Mashudul Haq yang berarti “Pembela Kebenaran”, ia kemudian bersalin nama menjadi Agus Salim. Para tokoh yang hidup semasa perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan RI menjulukinya The Grand Old Man (Si Pak Tua Besar). Ia besar bukan karena ciri fisik atau kekuatannya, bukan pula besar karena kekuasaannya, ia besar karena kecerdikan, wibawa, dan kebijaksanaanya. Kawan ia jadikan murid atau karib, lawan dibuatnya hormat dan segan.
Pada 27 Desember 1961, ia secara resmi dilantik menjadi Pahlawan Nasional Indonesia. Jasa-jasanya bagi bangsa Indonesia sungguh tak terkira. Dengan menguasai tujuh bahasa asing, di antaranya Arab, Mandarin, Prancis, Turki, Inggris, Jepang, dan Belanda, Agus Salim yang pernah menjabat Menteri Muda Luar Negeri Republik Indonesia, merupakan diplomat ulung yang menjadi teladan sekaligus pelopor. Tak hanya itu, ia pun pandai berdebat dan berorasi, belum lagi pemahamannya dalam ilmu agama Islam yang membuatnya menjadi panutan.
Salah satu kiprah yang ia torehkan bagi bangsa Indonesia ialah kala melakukan sebuah misi diplomasi ke Mesir yang terjadi pada tahun 1947 demi memperoleh pengakuan atas kemerdekaan Indonesia. Tentu bukan suatu misi yang mudah, apalagi saat itu, Pemerintah Hindia Belanda dan Kerajaan Belanda tak begitu saja membiarkan Indonesia memperoleh dukungan dari negara-negara lain. Di nusantara, Belanda melakukan langkah-langkah politik dan militer. Sementara di luar negeri, mereka pun tak tinggal diam, para diplomat Belanda tak akan membiarkan Indonesia diakui dunia Internasional. Namun, berkat kegigihan tim delegasi Indonesia yang dipimpin oleh KH. Agus Salim bersama rekan-rekannya, yakni Abdul Rahman Baswedan, Mohammad Rasjidi, dan Sutan Nazir Pamoentjak, Indonesia mampu memperoleh pengakuan kemerdekaan dari Mesir, membuat Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto maupun de jure.
Sejarah gemilang tersebut dapat kita temukan di buku-buku sejarah, artikel, maupun ensiklopedi. Dengan membacanya, kita akan mengetahui seperti apa teladan para Founding Father dalam membangun bangsa ini. Namun, tentu akan lebih menarik manakala kita dapat mengetahui sejarah-sejarah tersebut melalui cara yang menyenangkan. Misalnya, melalui karya tulis fiksi berbentuk novel. Kita patut bergembira, bahwa ternyata salah satu babak terpenting dalam sejarah bangsa tersebut, yakni upaya diplomasi Indonesia ke Mesir yang dipimpin oleh KH Agus Salim ini, telah diangkat dalam bentuk novel sejarah. Ini adalah berita bagus, terutama bagi para generasi muda calon penerus bangsa.
Hal ini terealisasi dengan novel yang berjudul The Grand Old Man (diterbitkan Bitread Publishing, Bandung), yang ditulis oleh Haris Priyatna. Novel ini diluncurkan bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila, pada 1 Juni 2017, di salah satu kafe di Jakarta. Turut hadir Anies Baswedan—Gubernur Jakarta terpilih—sebagai cucu A.R. Baswedan. Tak ketinggalan, salah seorang keturunan Agus Salim, yakni Agustanzil Sjahroezah juga turut membagi apresiasinya atas penerbitan novel ini. Salah satu komentar dari Anies Baswedan dalam perhelatan tersebut yang patut untuk kita renungkan ialah:
“Perjuangan KH Agus Salim, Mohammad Rasjidi, Nazir Datuk Sutan Pamuntjak, dan Abdul Rahman Baswedan, merupakan perjuangan ide dan kata-kata. KH. Agus Salim memiliki kekuatan dalam ide dan kata-kata. Hal itulah yang mengantarkan Indonesia meraih pengakuan di mata dunia internasional.” Bagi Anies, Agus Salim yang piawai merangkai kata, lisan maupun tulisan, serta menguasai banyak bahasa (sembilan bahasa, termasuk bahasa Jawa, Minang, dan Sunda), memiliki suatu potensi dan modal yang sungguh besar. KH Agus Salim menggunakan kemampuannya tersebut untuk menyambung lidah rakyat Indonesia dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Anies menyayangkan bahwa masyarakat Indonesia saat ini terkesan telah melupakan pentingnya kekuatan kata-kata. Padahal, lewat ide dan kata-katalah, kita mampu mempertahankan kemerdekaan ini, lewat jalur diplomasi, perundingan, dan karya tulis yang menggelorakan semangat kemerdekaan. “Agus Salim mampu membawa perjuangan bangsa menjadi sebuah kemerdekaan hingga diakui oleh dunia internasional,” pungkasnya.
Berita gembira lainnya ialah Yayasan Indovasi yang diketuai oleh Amir Sambodo, bersama TVS Film, berencana untuk mengangkat kisah KH Agus Salim dan Tim Delegasi Diplomatik di Mesir tersebut menjadi sebuah film layar lebar. Beberapa aktor dan aktris yang wajahnya tak asing lagi di layar kaca, akan digaet menjadi para pemeran dalam film ini. Kita tunggu saja tanggal rilisnya.
Langkah-langkah mengkolaborasikan hiburan, seni, dan pendidikan sejarah bangsa merupakan suatu hal yang sangat menggembirakan. Sebab, hal ini merupakan sebuah upaya untuk memperluas akses masyarakat terhadap konten-konten yang positif. Selain itu, masyarakat juga dapat “menikmati” konten tersebut dalam sebuah bentuk kegiatan rekreasi yang membangun. Semoga lahir lebih banyak lagi karya-karya bermutu di negeri kita. Jaya perbukuan kita, jaya perfilman kita! [amy]